Tidak semua bentuk korupsi dikenal pada masa Nabi. Bentuk-bentuk yang dikenal saat itu adalah kerugian negara, suap, penggelapan, penipuan, dan gratifikasi. Dua bentuk korupsi lainnya, yakni pemerasan dan konflik kepentingan dalam pengadaan, belum ditemukan dalam hadits Nabi. Hal ini dapat dipahami dengan melihat perbedaan struktur sosial dan pemerintahan yang ada saat itu dan sekarang. Secara historis struktur faktual, sosial dan pemerintahan telah berkembang dari waktu ke waktu menuju realitas yang lebih kompleks dan kompleks. Dalam realitas struktur sosial yang sederhana, bentuk-bentuk korupsi akan lebih sederhana. Dalam realitas yang kompleks, bentuk-bentuk korupsi juga akan kompleks.

Namun, definisi yang dikenal saat ini, terutama yang dikemukakan oleh Transparency International, memiliki substansi yang serupa dengan yang diusulkan pada masa Nabi. Transparency International mendefinisikan korupsi sebagai penyalahgunaan kekuasaan yang dipercayakan untuk keuntungan pribadi. . Konsep ini sejajar dengan konsep ghull sebagaimana termaktub dalam hadits Nabi SAW. Arti umum ghulûl adalah mengkhianati amanah. Dalam konteks masalah publik, ghulûl mencakup segala bentuk makar yang dapat mengakibatkan kerugian publik dan pemusatan keuntungan pribadi dan kelompok.

Dalil larangan korupsi terdiri dari dalil yang bersifat duniawi dan yang bersifat ukhrawi. Yang duniawi adalah hilangnya keseimbangan hukum alam, munculnya disharmoni sosial, dan maraknya kemunafikan. Dalam studi terbaru, argumen ini telah menemukan penjelasan faktual mereka. Studi-studi ini membuktikan dampak negatif korupsi: kemiskinan, perdagangan manusia, dan pelanggaran hak asasi manusia. Adapun akhirat berupa tidak menerima hasil korupsi, mencegah pelaku korupsi masuk surga, dan menyiksa pelaku korupsi di neraka sebanding dengan jumlah harta yang dikorupsi.

Dampak ukhrawi ini bersifat unik dan tidak mendapat perhatian penelitian faktual. Upaya pencegahan korupsi dalam hadis Nabi. Mulai dari upaya preventif, detektif, dan kuratif. Secara preventif, Rasulullah. merekomendasikan agar tokoh masyarakat memiliki tanggung jawab, kepercayaan, dan tidak mengkhianati rakyat. Sebagai upaya detektif, Nabi. memerintahkan untuk memeriksa pekerja atau pejabat yang diduga melakukan tindak pidana korupsi. Sebagai upaya kuratif, Rasulullah saw. tidak mau menyalahkan pelaku korupsi dan menimbulkan ancaman serius baginya di akhirat. Dalam hadits Nabi Sesungguhnya tidak ditemukan sanksi pidana bagi koruptor, sebagaimana diindikasikan oleh beberapa peneliti. Namun, kriminalisasi korupsi sebagai salah satu bentuk tindak pidana dapat dibenarkan karena pertimbangan untuk kemaslahatan rakyat.

Bentuk hukumannya juga bisa berupa hukuman ta`zîr yang ketentuannya dapat diputuskan oleh hakim di pengadilan. Dalam kasus Indonesia, kriminalisasi tindak pidana korupsi dan ketentuan hukum pidana sebagaimana diatur dalam UU No. 31 tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 juga dapat dianggap sebagai hukum ta`zîr yang ditetapkan atas dasar ijtihad ulil amri, para pemimpin negara. Mengingat kejahatan korupsi yang semakin masif bahkan telah menjadi budaya yang semakin merajalela, serta akibat negatifnya bagi kehidupan sosial, politik, ekonomi dan budaya, maka upaya penyadaran akan bahaya dan pemberantasannya juga harus masif. Pandangan keagamaan yang menjadi bagian dari cara hidup masyarakat Indonesia perlu digali untuk berperan lebih besar dalam upaya tersebut. 

_SAN_

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama