عَنْ اَبي هُـرَيْـرَةَ رَضِـَي
اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِذاَ
ماَتَ ابْنُ اٰدَمَ اِنْقَطَعَ عَمَلُهُ اِلاَّ مِنْ ثَلاَث: صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ
اَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ اَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُوْ لَه (رَوَهُ مُسْلِمْ)
“Dari Abu Hurairah
ra., Rasulullah SAW bersabda: “Apabila anak cucu Adam telah mati, terputuslah
amalannya kecuali 3 perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak
shalih yang mendoakan orang tuanya” (HR Muslim).
Makna Tekstual
Hadis ini
bersifat khabari (informatif) dan secara umum menjadi wasiat dan tanbih
(peringatan) Rasulullah kepada seluruh manusia, khususnya umat Islam.
Peringatan tentang kehidupan dunia yang sementara dan bagaimana
mengefisienkannya, pastinya kematian (Qs Al-‘Ankabut: 57) dan kekalnya
kehidupan akhirat.
Tiga amal
shalih yang dimaksud, pertama, sadaqah jariyah, yaitu pemberian atau
peninggalan seseorang yang diniatkan untuk kebaikan, di mana kebaikan dan
kemanfaatannya masih dapat dirasakan sepeninggalnya. Seperti wakaf tanah untuk
pendirian masjid, sekolah, rumah sakit, penanaman pohon, dan mushaf.
Kedua, ilmu
yang bermanfaat, yang baik dan memiliki kemanfaatan bagi manusia serta tidak
melanggar syariat agama. Ketiga, anak shalih yang mendoakan orang tuanya.
Berdoa untuk orang tua menjadi salah satu barometer keshalihan seorang anak.
Makna
Kontekstual
Tiga hal tersebut
pada hakikatnya adalah pilar bangunan peradaban Islam yang harus dimaksimalkan,
yaitu: ekonomi, ilmu pengetahuan teknologi, dan sumber daya yang
cakap-terampil, yang beriman-bertakwa. Ketika Nabi memilih redaksi ‘ibn adam’,
sejatinya Nabi sedang berbicara mengenai pelaku peradaban yang diinginkannya.
Dengan memilih
kata ‘sadaqah’, yang tersirat perihal ekonomi, etos kerja, dan semangat
berderma. Dengan memilih frasa ‘ilmun yuntafa’u bihi’, hakikatnya Nabi sedang
menggambarkan pentingnya penguasaan ilmu pengetahuan umum (aqliyah) maupun
agama (naqliyah).
Pun ungkapan,
‘waladun shalihun yad’u lahu’, di mana Nabi sejatinya menekankan
urgensi sumberdaya manusia (SDM) yang berkualitas, berintegritas, berdaya
saing untuk menjadi aktor-aktor sejarah peradaban Islam. Beberapa modus
operandi untuk kontekstualisasi dan implementasi Hadits di atas, yaitu:
Pertama,
perkuat basis ekonomi. Kegiatan ekonomi adalah bagian integral dari muamalat
yang berhubungan erat dengan aspek akidah, ibadah, maupun akhlak.
Islam tidak
melarang umatnya mencari rizki sebanyak-banyaknya. Dalam Hadits di atas,
perintah melakukan sadaqah meniscayakan umat untuk memiliki basis ekonomi yang
kuat. Umat seharusnya mampu menjadi pemain inti dalam percaturan ekonomi, baik
skala mikro dan makro, sebagaimana diteladankan Nabi dan para sahabat yang
memiliki etos kerja tinggi dalam bisnis-perdagangan, baik lokal maupun
internasional. Menjadi konglomerat dan pelaku usaha yang sukses dan bermanfaat
untuk membantu perjuangan umat Islam dalam menegakkan agama Allah,
artinya menegakkan peradaban Islam.
Pemahaman dan
keyakinan seperti tersebut di atas seharusnya mengakar dalam diri umat Islam
sehingga sebutan (laqab) ‘kuntum khaira ummatin’, sebaik-baik umat, menjadi
kenyataan. Dalam masalah ekonomi, umat Islam tertinggal jauh dengan umat
lainnya. Karena kalah, maka tatanan kehidupan kita bisa disetir ke mana saja
oleh umat lain yang memiliki basis ekonomi kuat. Tidak heran jika kehidupan
umat semakin terbelakang dalam berbagai sisi. Sebagaimana umat Islam di
Indonesia, meski mayoritas, tapi sangat sulit bersaing dalam bidang ekonomi
ini. Nalar ber-fastabiqul khairat yang menjadi ciri keunggulan ajaran Islam,
semakin lama semakin terkikis habis oleh waktu.
Kedua,
penguasaan ilmu pengetahuan (aqliyah dan naqliyah). Problem terbesar yang
juga sedang dihadapi ummat Islam saat ini adalah minimnya penguasaan dan
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) yang dibarengi dengan dasar
spritualitas iman dan takwa (imtak). Inilah kontekstualisasi dari ‘ilmun
yuntafa’u bihi’. Kurangnya hal ini dalam tubuh umat Islam, berakibat pada
bencana yang sangat besar.
Ambil saja
contoh Indonesia, sebuah negeri yang mayoritasnya Muslim, pun dikaruniai Allah
sumber daya alam begitu luar biasa banyaknya. Jika umat memiliki tingkat
pengetahuan dan teknologi yang memadai, dapat dipastikan Indonesia menjadi
negara besar yang berperan penting dalam percaturan dunia.
Sayangnya,
penguasaan iptek dan imtak bangsa Indonesia sangat minim dan bermasalah dalam
sistem pendidikannya yang memisahkan nalar pengetahuan umum (aqliyah) dan agama
(naqliyah). Akibatnya, kita memiliki ketergantungan tinggi terhadap umat dan
negara lain. Mulai dari urusan alat transportasi, seperti pesawat, kapal,
mobil, sepeda motor, sampai pada urusan makanan seperti beras dan daging pun
masih impor. Diperlukan mobilisasi dan rekonstruksi menyeluruh dalam hal ini,
mulai dari sistem pendidikan hingga budaya entrepreneurship (kewirausahaan).
Ketiga,
kaderisasi dan pemberdayaan SDM yang berintegritas. Kata kunci dalam membangun
SDM yang unggul dan islami adalah pendidikan karakter.
Islam, sejak
kehadirannya telah menekankan dan mencontohkan pendidikan karakter melalui
pribadi Rasulullah saw. Ketika Aisyah ra ditanya sahabat tentang keluhuran akhlak
Nabi, ia menjawab; “Kana khuluquhu Al-Qur`an”, bahwa akhlak-karakter Nabi
tergambar dan terangkum dalam Al-Quran. Pun, ditekankan oleh Nabi sendiri,
bahwa ia diutus untuk mentransformasi perilaku manusia (innama bu’istu
li-`utammima makarim al-akhlaq). Dan bukankah tingkatan (maqam) ihsan lebih
tinggi dari iman dan Islam?
Di era
globalisasi saat ini, orang tua sering abai dan kurang peka dalam mendidik
anak-anaknya. Di mana perilaku dan moral anak saat ini bahkan di ambang titik
mengkhawatirkan.
Nilai-nilai
sopan-santun, tata krama dan akhlak yang berbasis keluhuran agama dan budaya
sudah sedikit demi sedikit hilang dalam kehidupan masyarakat. Inilah yang
menyebabkan masifnya berbagai tindak kejahatan. Karena itu, upaya maksimal
harus dilakukan para orang tua dalam mengawal dan mendidik putra-putrinya agar
kelak menjadi anak dan generasi shalih dan shalihah, memiliki integritas
Muslim yang unggul, di mana hal tersebut adalah bagian dari upaya membangun
peradaban Islam unggul dan berkemajuan (khaira ummah).
sumber : Suara Muhammadiyah
Posting Komentar