AIRMATA pertamaku


Nama: Wahyu Nikmahtika

Kelas KMK Rina.11

Judul: Akulah Sang Janin (ASJ)


AIR MATA PERTAMAKU


"Bagaimana bisa kamu hamil Nduk? Anak-anakmu masih bayi-bayi semua Nduk. Kamu ndak lihat Dimas masih umur tiga setengah tahun dan Syifa anak perempuanmu itu, lihat dia Nduk! Tidurnya saja masih di atas keongan. Kamu ndak kasihan sama mereka. Lalu bagaimana kata orang nanti? Mau ditaruh dimana muka keluarga kita nanti? Empat tahun masa lahiran tiga kali. Isin Nduk, isin. Makanya kalau anak masih kecil-kecil itu nyadar diri Nduk. Kalau sudah begini siapa yang repot, siapa? Ibu ndak mau tahu gugurkan kandungan itu! Gugurkan!"


Braakk!!!


Meja usang itu kembali terhentak dengan kasarnya. Nenekku menikamkan pandangan yang sangat belati pada ibuku. Jari telunjuknya mengarah pada mata ibuku serupa ujung tombak yang siap mengoyak tubuh lawan di area gladiator. Kuusap bening air mataku yang merembes jatuh membasahi pipi. Aku kembali mengaitkan tangan kecilku pada endometrium ibuku. Erat sekali aku memeluk kantong yang serupa balon tipis itu. Berharap tidak bisa lepas, berharap aku terus menempel di tempat itu sampai wangi dunia itu dapat kuhirup tapi apakah sebulir impian itu dapat terwujud?


Mereka tak menginginkan kehadiranku, tidak sama sekali.


Ibuku tak banyak bicara. Air matanya saja yang terus berguguran jatuh. Ia sampai sesenggukan. Aku bisa mendengar bagaimana tercekatnya napasnya kala itu. Aku pun juga turut terkena imbasnya. Perut ibuku mengalami kram. Tubuhku terguncang kesana-kemari. Kenyerian menggigiti tubuh mungilku. Nyeri sekali.

Ibuku dengan wajah sayunya menatap nanar pada kedua kakakku yang tengah tertidur lelap. Kakak jagoanku masih berusia tiga setengah tahun. Sementara Kakak ‘tinkerbell’-ku masih berusia satu setengah tahun. Kakak perempuanku ini mempunyai kebiasaan tidur aneh dengan tidur duduk di atas baby walker dengan diganjal sebuah bantal di bagian bawah sebagai penopang kakinya. Ya, kaki yang baru enam bulan ini dapat ia gunakan untuk berjalan. Botol susunya harus diganjal dengan kain selendang yang dilipat sejajar dengan mulut tipisnya. Tak cukup sampai disitu ibuku harus mendorong baby walker itu mengelilingi seisi rumah demi untuk menidurkan kakakku. Ibuku harus melakukan hal yang sama setiap kali kakakku terjaga, mendorong baby walker itu dengan berselimut kantuk dan rasa letih yang tak dapat dibendung. Parahnya lagi kedua kakakku ini baru bisa memejamkan mata jika waktu sudah menginjak tengah malam antara jam dua belas sampai jam tiga dini hari.


Kawan, bisa kalian bayangkan betapa repotnya kedua orang tuaku jika aku tiba-tiba hadir di tengah-tengah mereka?


Pantas saja kehadiranku amatlah ditentang serupa hama yang harus dibasmi habis sampai ke akar-akarnya.


"Kenapa harus digugurkan toh yang merawat nanti juga kita-kita sendiri? Orang itu bisanya memang hanya menggunjing." sahut ibuku lirih masih dengan isak tangis yang membanjiri pipi.


"Benar yang merawat nanti memang kita nantinya tapi kamu pikir Nduk, Pikir! Bagaimana tumbuh kembang Syifa dan Dimas nantinya? Kasih sayang dan perhatian mereka nantinya pasti akan terbagi. Semua akan menjadi beban; beban mental, sosial, dan beban finansial. Ingat Nduk! Kita bukan dari kalangan berada. Membesarkan ketiga anak yang semuanya masih kecil-kecil itu bukan perkara mudah Nduk. Lebih baik kita korbankan janin itu daripada mengorbankan kedua anakmu yang sudah jelas masa depannya itu. Gugurkan! Hanya itu jalan satu-satunya."


Ibuku tercenung dalam sepi. Sekali lagi air mataku jatuh berguguran. Di bibir nestapa jiwaku terasa tercekik. Pedih menghempas mengaramkan jiwa yang kian tersiksa. Nyanyian duka berdendang di penghujung senja yang memainkan melodi sumbang. Aku tak diinginkan seperti butiran debu yang terhampar dan terserak. Setitik air mata ini lagi-lagi tak dapat dibendung. Ibuku meremas perutnya kuat-kuat. Jari-jarinya berusaha menjamah tubuh mungilku. Aku berusaha berlari namun aku tak lagi punya daya. Tubuhku terlanjur terlumuri kabut pilu yang membumbung tinggi. Terebah aku dalam kenyerian dan kepedihan yang mencengkram.


Tuhan, aku tak ingin mati.

*****


Minggu ke tiga pertapaanku di dalam persemaian rahim ibuku saiz embrio pada tubuh mungilku mulai terbentuk meskipun saiznya hanya sepanjang 0,08 inci/2 mm. Ya, gen janin mula pada tubuhku hendak membentuk dalam tiga lapisan benih (sel) daripada organ badan yang akan bergabung.


Senyumku mengembang tipis, "Aku ingin tetap hidup. Aku ingin menghirup wangi dunia di pelataran pagi bersama belaian mentari. Aku ingin berjalan menapakkan kaki mungilku di atas bumi dan merasakan betapa keagungan Tuhan itu amatlah nyata. Aku ingin tidur dalam pelukan angin malam dalam dekap hangat dari kedua orang tuaku." bisik sebagian dari diriku lirih.


Bisikan itu teramat lirih. Frekuensi bunyi yang dipantulkannya pun tak lebih dari 20 Hertz. Gelombang infrasonik itu pun tergetar hambar dan datar karena sebenarnya sebagian aku (hati) itu mempunyai ketakutan yang sama seperti diriku. Takut hembusan napas itu akan cepat terpenggal dan impian akan lenyap musnah serupa abu.


"Aaakkhh!"


Benar saja, larutan ethylenediamine tetraacetate mengguyur tubuhku dengan ganasnya. Perih, nyeri mengulitiku tanpa ampun. Aku menggeliat serta mengguling-gulingkan tubuhku kesana-kemari hingga timbul rasa kram kecil yang dirasakan ibuku. Gerakan kecilku sungguh tak ia indahkan sama sekali. Sekaleng minuman bersoda dengan merek "S" itu terus ia tenggak sampai menyisakan tetes terakhir.


"Plaaang!"

Satu kaleng melayang menabrak pagar bambu di depan rumahku. Meski rasa panas terasa membakar perutnya ia tak peduli. Tangannya masih saja gatal. Jari-jarinya kembali menggerayang satu kaleng lagi diantara empat kaleng minuman bersoda yang tersisa.


"Jangan diminum Bu! Tolong jangan diminum! Aku sakit. Tolong jangan bunuh aku!" teriakku lirih dengan segenap luka lebam yang menyertaiku.


Ratapanku hanya dibalas tawa angin yang makin menyanyat kalbu. Satu kaleng lagi terdampar menghantam kerikil di halaman rumahku. Zat sulfit dan asam sitratnya mengejangkan otot-ototku yang masih serupa sehelai benang. Dan tak sampai disitu saja wanita yang kusebut ibu itu, wanita yang derajatnya tiga kali ditinggikan oleh Allah dimana predikat surga berada di telapak kakinya itu tak mau menyudahi perang batinnya untuk melenyapkanku. Tujuh buah pil KB ia telan sekaligus bersamaan dengan kaleng soda ketiga yang ia buka. Dan sekarang ia tengah berusaha meremukkan tubuh mungilku dengan remasan dan tinjuan kuat yang ia layangkan padaku lewat permukaan perutnya. Sakit mengepung, pilu tak lagi dapat terbendung. Tanpa kusadari ibuku pun turut menangis. Titik-titik air matanya mengalir lembut bagai tetesan embun pagi. Aku bisa merasakan dadanya bergetar kuat. Ada pergolakan hebat di dalamnya yang tak sepenuhnya kumengerti.


"Maafkan Ibu Nak! Lebih baik kamu pergi sekarang daripada hidupmu nanti akan bertambah susah." desisnya lirih sambil mengusap setetes bening pada sudut matanya. Sementara tangan satunya masih terus berusaha mengeksekusi kematianku.


"Cukup! Apa yang Ibun lakukan?" pekik seseorang dari luar pagar.


Ibuku tersentak. Lelaki berperawakan tinggi dengan badan proporsional itu langsung mencopot helm-nya, menggantungkannya sembarang pada spion motornya, dan menggegaskan langkah menuju ibuku yang tengah bermandikan nafsu amarah.

“Ibun, dengarkan ayah!. Apa Ibun sudah gila?. Dimana hati nurani Ibun?”

Ayahku bergeletar amarah. Keringat dinginnya jatuh bercucuran bersamaan dengan hawa panas yang menyembul dari ubun-ubun kepalanya.

Kedua orang yang kusayangi terguyur amarah. Bola mata ibuku membesar yang dengan cepat disambut sorot tajam penuh kekecewaan.

"Hati nurani? Jangan picik kamu Mas! Mas yang tidak punya hati. Selama ini Mas tidak pernah menghargaiku.”

Ibuku mengatur napas sebelum akhirnya melanjutkan, “Aku yang selalu mengalah setiap detik, setiap waktu terlebih pada semua saudaramu yang tidak pernah menerima kehadiranku.”

Nada setinggi tujuh oktaf meluncur cepat dari bibir perempuan yang sangat kusayangi. Ia maju satu langkah dari topik pembicaraan. Berusaha memuntahkan gejolak emosi yang menghimpit dada. Ya, salah satunya perang dingin yang terjadi antara dirinya dan keluarga dari ayahku, mereka yang seharusnya kupanggil Kakek-Nenek dan Om-Tante.


"Katakan sebenarnya, siapa yang telah meracuni otak Ibun untuk menggugurkan kandungan itu? Pasti Ibumu kan?. Wanita itu memang selalu memonopoli pikiran Ibun akibatnya Ibun tidak pernah bisa berkembang, cara berfikir Ibun tidak pernah pecah." sentak ayahku keras.


Kedua bola mata itu saling menatap dengan lumuran bara amarah. Hanya beberapa sentimeter saja jarak antara keduanya. Aku bisa mendengar jelas dengusan napas ayah yang begitu memburu juga sengguk tangis ibu yang kian melilit tenggorokannya.


"Cukup! Tahu apa Mas soal Ibuku? Dari dulu Mas memang tidak pernah bisa menghargai kedua orangtuaku padahal tanpa mereka kita akan mati kelaparan. Mas hanya meninggalkan hutang, hutang, dan hutang.”


Ibuku kian bermandikan api amarah. Mata hati sudah terselimuti pekat oleh jelaga nafsu. Nurani pun meroboh mati. Air mataku kian deras jatuh berguguran.


Tuhan, kenapa kehadiranku justru disambut dengan pertikaian yang tak berujung?


Katanya, anak itu adalah anugerah tak ternilai lantas aku ini apa Tuhan? Musibah dan pembawa mala petakah?


Tak ada senyum simpul yang tersungging. Tanpa gelak tawa yang menyeruak manja. Rintihan kesakitanlah yang justru menyembul.


Tamparan itu mendarat keras di pipi ibuku. Jerit kekecewaan dan kepedihan melumuri mata sayunya. Air mata menjadi saksi bisu akan gelegar tawa syetan yang berhasil menuangkan tinta kebencian di hati anak adam.


"Zahra, tutup mulutmu! Kamu tidak tahu apa-apa. Semua yang aku lakukan, setiap peluh yang menetes, seluruh tenaga, waktu yang terkuras, semua untuk siapa coba? Untuk kamu, demi keluarga kita. Atau jangan-jangan kamu mulai menyesali pernikahan ini setelah semua yang kukorbankan untukmu?"


Air muka ayahku memerah. Amarah berlarian tak terkendali.


Hening merayap. Hanya desau angin yang menyahut hambar. Seketika itu juga ibuku membisu. Matanya mengelabu. Rintik gerimis pun pecah menyusuri kedua belah pipi. Meliuk-liuk bak anak sungai yang tengah mencari lautan kebebasan. Hatinya dongkol. Pikirannya mampat. Jubah kebencian itu makin terbentang lebar. Menjulur panjang dan melilit tubuh ringkihku. Napasku sesak. Aku menangis tergugu.


Di saat yang bersamaan Nenekku dibuat mematung di seberang jalan. Tas belanjaannya seketika terjatuh menukik lantai. Suara pertengkaran anaknya terus mendengung memekakkan daun telingan. Dan kini busur anak panah itu tengah ditujukan padanya.

Sial. Anak itu memang pembawa sial.

*****


Senja turun memayung langit. Menggeser arakan kebiruan yang sebelumnya menjadi warna tetap semenjak mentari menyapa. Sudah lima belas menit namun mata ibuku tetap tak lepas dari segelas jamu ublekan yang berada di hadapannya. Ragu memaut di kedalaman kalbu. Ya, perlahan tapi pasti cinta itu mulai menunas pelan. Merangkak lembut dengan kecepatan berjalan seekor bekicot. Mata redupnya menatap ganjil ke arahku seakan ia ingin menerawang apa yang sedang dilakukan seonggok daging dalam perutnya. "Monster kecil", sebutan itulah yang kini ia alamatkan padaku. Empat minggu berlalu dan aku masih saja sama bak bola kista yang harus dilenyapkan.


Setan berbisik dan ibuku pun mulai terusik. Dirambatinya gelas berwarna kecoklatan berbau anyir dengan dada berdebar dan tangan bergetar.


"Tenang Neng, jamu Simbok paling tok cer. Sekali minum dijamin langsur luntur. Ndak usah takut dijamin aman. Langganan Mbok sudah banyak. Simbok bahkan sampai hafal wajah-wajah ayu wanita-wanita komplek gedongan. Neng tahu, Ibu Sinta janda kaya pemilik toko baju di pertigaan lapangan itu sudah lima kali minum dari Mbok. Dan hasilnya langsung luntur." ujar wanita setengah baya itu setengah berbisik pada ibuku sembari menepuk permukaan perutnya.


Sejenak kemudian pandangan ibuku menerawang. Cerita Mbok Jamu berkeliaran dalam benak. Siapa sangka perempuan berhijab dengan dua anak gadis itu ternyata doyan menjajakan diri. Dan modal usaha toko busana muslimnya tak lain didapat dari profesi gelapnya sebagai Pelakor. Target utama pejabat korup dan para pengusaha mapan yang suka "jajan tempe" di luar rumah. Dunia memang gila. Ibuku menyungging seulas senyum aneh.


"Kalau terjadi kecelakaan lagi jamu Simbok selalu siap Neng." lanjut wanita dengan rambut digelung itu kembali mempromosikan diri.


"Saya sudah punya suami." sambar ibuku mendongakkan kepala yang sedari tadi tertunduk lesu.


Simbok jamu mendadak salah tingkah. Dahinya mengernyit. Senyumnya kecut. Aku bisa merasakan ada negative feeling yang sedang ditujukan pada ibuku.


"Saya sudah mempunyai dua anak dan tidak mau menambahnya lagi." potong ibuku tiba-tiba seolah bisa membaca pikiran wanita dengan gurat-gurat halus di wajah itu.


Semilir angin tak terlalu berhembus kencang tapi cukup melenakan. Angin nakal menciumi rambut ibuku hingga bermain-main tak karuan di udara. Belahan jiwaku—perempuan dengan rambut lurus tergerai itu harus berkali-kali menyilakan helain rambut yang menutupi wajahnya dengan jari-jarinya yang lentik. Sapaan angin sore itu sepertinya tak cukup untuk mendinginkan hatinya yang berkubang lara. Dan dalam sekejap saja tubuh mungilku kembali menegang bahkan aku tak sempat berteriak.


Ibu..

Tak peduli racun potassium chlorida mengguyur tubuhku ataupun cairan keras raksa memutus leherku aku akan tetap menyayangimu.

Ibu..

Tak peduli jutaan cara kau membunuhku namun milyaran cintaku tak pernah membeku.

Ibu..

Tak bisakah kau membiarkanku sebentar saja menghirup wangi kasturi bernama dunia? Izinkan tangan mungil ini membelai wajahmu dan menghapus setiap bening yang jatuh dalam genangan duka di matamu. Aku ingin bibir mungil ini belajar lebih banyak hingga aku bisa merapal namamu dengan jelas, I-B-U.

*****

Tulungagung, menanti bias senja 30 Januari 2021


Post a Comment

Lebih baru Lebih lama