Cinta dalam Kematian


KMK 11A Ria Eka Lestari

Cinta dalam Kematian

By: Eukariotasis

“Bullshit, bullshit, bullshit”

Kututup telingaku dengan jemari. Cinta sejati itu hanya omongan belaka. Dewi Fortuna tidak pernah berpihak padaku, tak ada gunaku hidup.

Aku terlahir sebagai anak kelima dari 6 bersaudara. Ayahku bekerja sebagai seorang tentara dan ibu adalah ibu rumah tangga. Keluarga tentara itu ibarat makan buah simalakama, bisa menjadi suatu keberuntungan dikenang semua orang tapi akan menjadi kesialan ditinggal cepat untuk selama-lamanya, harus siap kehilangan kasih sejati. Ayahku menjadi kaki tangan atasannya. Tiap saat ayahku mendapat tugas untuk memeriksa setiap barang yang masuk dan keluar di daerah Belawan, saat itu kami tinggal di perumahan tentara di daerah turiam. Keheningan, kedamaian, serta kebahagiaan selalu menyertai kami. 

Ayahku bisa dibilang yang paling hebat diantara saudara-saudaranya. Ayah yang berhasil keluar merantau dari kampong dan mempunyai jabatan di dunia militer. Tak jarang setiap bulan selalu datang saudara-saudaranya bermain kerumah kami dan setiap mereka pulang dari rumah kami, ayah dan ibuku selalu memberikan buah tangan dan uang saku untuk mereka. Itulah membuat mereka semakin rajin kerumah kami. 

Dipikiranku hanya muncul ketidaksukaan karena aku menganggap mereka hanya lah ingin mengharapkan bantuan dari ayah, terkadang mereka tidak segan meminta bantuan dan meminjam uang ayah tanpa mengembalikkannya. Ayah selalu marah jika aku mengeluhkan hal itu. Suatu hari, ada saudara kami datang membawa oleh2 dan dia bersikap manis pada ku didepan kedua orang tuaku, tapi setelah orang tuaku pergi meninggalkan aku bersama saudara ku, yang kudapati hanya umpatan dan ancaman agar aku menyukai mereka. Aku semakin tidak suka dengan saudaraku.

Kelang beberapa bulan, ayah ditugaskan berperang melawan Jepang yang menjajah Indonesia, hingga akhirnya jantung ayahku tertembak demi melindungi pimpinannya. Namun nasib baik menimpa ayahku, ia masih bisa hidup sampai 2 bulan kedepan. Setelah itu, ayah pun tiada saat aku menduduki kelas 3 SMA, ibuku sangat terpukul. Ia selalu murung dan mengunci dirinya dikamar hanya kakakku yang berhasil membujuk ibu sehingga ibu kembali bersemangat menafkahi kami anak-anaknya. Sejak kepergian ayah, hidup kami berubah, perlahan apa yang kami miliki dijual untuk kelangsungan hidup kami, yang paling menyedihkan dan membuat aku dan keluargaku terpukul, tidak ada satupun saudaraku yang datang lagi mengunjungi kami.

Singkat cerita, sudah enam bulan berlalu tapi tidak ada saudara kami yang juga berkunjung untuk menghibur kepedihan kami yang kehilangan ayah. Ibu tetap saja berpikir positif terhadap saudara kami dan mendatangi pesta saudara kami, sayangnya niatan positif ibu bertepuk sebelah tangan, disana ibu mendapat perkataan yang tidak enak, mereka beranggap kami ingin minta bantuan mereka. Hati ibu semakin pilu dan membuat ibu semakin tak selera makan sepulang dari pesta. Keadaan itu terus berlanjut hingga membuat ibuku pun sakit dan akhirnya meninggalkan kami selama-lamanya. 

Kehilangan orang tua untuk selama-lamanya menjadi dentuman keras bagiku. Aku semakin sering mengumpat saudaraku dan jadi lebih banyak menyendiri dikamar. Begitulah terus kulalui waktu sampai akhirnya satu persatu  kakak dan abang ku menikah. Kini tinggallah aku yang sudah duduk dibangku kuliah semester empat dan adekku kelas tiga SMA. Beruntungnya kakak dan abangku tetap membiayai aku dan adekku. 

Sejak semester empat inilah, kehidupanku berubah perlahan, aku mulai sedikit mempercayai orang dan sudah mulai menggunakan kata bulshit untuk setiap omongan yang ada. Aku mengenal seorang pria dan aku merajut cinta bersamanya. Kasihnya yang sempurna membuat aku mampu menghilangkan ketakutan dan menumbuhkan kembali rasa percayaku ke orang disekitarku. Dilema yang kualami memang membuat seluruh mentalku rusak, terkadang aku sedih merenungi masa laluku yang kelam.

Neon, pria yang berhasil menaklukkan hatiku, membuat aku bangkit dari keterpurukanku. Aku mengenalnya saat aku duduk dan Neon satu kelas. Neon adalah seniorku di kampus, saat ini ia duduk di semester enam dan sedang mengulang mata kuliah yang sama dengan mata kuliah yang baru aku ambil di semester empat. Awal mula perkenalan kami hanya sebatas saling meminjam catatan satu sama lain hingga akhirnya kebersamaan itu terus berlanjut dan Neon mengutarakan rasanya padaku. 

Hari-hari bersamanya sungguh indah. Kedekatan kami ibarat prangko dan amplop, tak pernah lepas satu sama lain. Remaja yang dimabuk asmara memang sungguh berbahaya, dunia hanya seperti milik berdua dan orang lain hanya seperti penumpang yang tidak dihiraukan keberadaannya.  

“Oh Neon, Kiranya ia mencium aku dengan kecupan! Karena cintamu lebih nikmat daripada anggur”. 

Kegilaan ku terhadap cinta Neon membuat aku buta dan parahnya membuat aku berhalusinasi mendapat satu kecupan darinya. Tanpa terasa waktu pun berlalu, aku sudah menyusun tugas akhir dan adikku sudah semester empat sedangkan Neon sudah bekerja disalah satu Bank plat merah Indonesia. Dipuncak perjuangan perkuliahanku, tak kusangka Neon, pria yang selama ini ku percaya dan selalu ada disampingku kini telah mengarahkan pisau ke jantungku. Sesak rasanya. Tingkah Neon semakin hari semakin berbeda, aku semakin tidak bisa mengenalinya, keributan yang timbul semakin diluar dugaanku. 

“Malam ini aku sedang bersama Neon di apartemennya”. Pesan singkat Whatsapp Neon masuk disertai dengan foto mesra Neon dan wanita yang tidak terlihat jelas wajahnya. Api cemburu membakarku, segera ku dapati kunci mobil ku dan segera meluncur ke apartemen Neon. Amarah yang kupendam membuat air mata menetes secara perlahan dan membuatku menjadi gila tak karuan. Ku tancap pegal gas mobil, speedometerku mencapai kecepatan 180km/jam. 

Braak…..

Truk besar menghentikan mobilku, darah mengucur dengan derasnya dan aku keluar dari tubuhku. Aku ingin memilikimu, namun inginku akan menggoreskan luka bagi wanita disampingmu, biarlah aku menjadi penikmatmu dari kejauhan seperti pungguk merindukan bulan. Biarlah kenangan dan rasaku padamu kupendam dan kubawa saat kujala mautku sendiri, biarlah kepergianku menjadi bahagiamu dan dia. Aku pamit”.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama