MENYESAL SUDAH MEMILIH

MENYESAL SUDAH MEMILIH

Impian setiap pasangan berumah tangga adalah hidup yang sakinah, mawadah, dan warromah. Namun, impian itu kandas setelah melihat perilaku Beni. Beni yang merupakan manager perusahaan otomotif besar di Indonesia mampu melakukan kekerasan kepada istrinya, Desi.


Desi yang semula bekerja sebagai guru TK di salah satu kota besar di Indonesia rela melepaskan karirnya demi seorang Beni. Lita yang tadinya ingin menerima pinangan Latif, yang hanya bekerja sebagai guru SD menjadi terbujuk oleh kepiawaian Beni dalam merayu.


Pertemuan yang tidak disengaja antara Desi dan Beni di sebuah toko pakaian, yang dikenalkan oleh Mela, adiknya Beni, yang juga temannya Desi tidak bisa ditolak. Desi yang semula ingin sekali menerima lamaran Latif akhirnya berpaling ke Beni. Beni yang terus-terusan meminta agar hubungan dilanjutkan membuat Desi menyerah.

"Des, kakakku siap menikah," ucap Mela kepada Desi.


Usia Beni lebih tua dari Desi, yaitu selisih 10 tahun. Keinginan Beni untuk menikahi Desi begitu kuat. Beni tahu bahwa selain cantik, Desi juga mempunyai usaha kue di rumah. 

"Des, maukah kamu menjadi istriku?" tanya Beni di saat Mela mengajak Beni main ke rumahnya.


Desi tidak menjawabnya. Dia hanya tersipu dan tidak menyangka lelaki itu mampu memintanya menjadi istri dalam jangka waktu yang singkat.

"Berarti kamu setuju ya, Des," ungkap Mela.


Penampilan Beni memang sangat menarik. Sepintas, setiap wanita pasti menyukainya. Dandanannya yang rapi dan senyum yang selalu menghiasi wajah ovalnya menjadi salah satu sebab Desi menyukai Beni.

"..., tetapi kamu harus menghadapi ayahku dulu. Ayah bukan orang tua yang langsung menerima permintaan anaknya." ucap Desi.


"Baik, insya Allah aku akan bicara kepada ayahmu secepatnya," tegas Beni.


Tidak menunggu sebulan, Beni menemui ayah.

"Maaf, Pak/ Bu. Maksud kedatangan saya ke sini untuk meminta Bapak merestui hubungan saya dengan Desi." Beni membuka pembicaraan.


Sebelumnya Ayah sudah mendapat kabar dari Desi tentang Beni. Namun, hati Ayah sepertinya tidak mengizinkan Desi menikah dengan Beni. Entah itu firasat seorang ayah atau memang nalurinya sebagai laki-laki yang membuat ayah menyatakan keputusannya.

"Maaf, Nak Beni. Keputusan menikah itu tidak semudah yang diucapkan. Banyak persiapan yang harus dilakukan. Apa nak Beni sudah mempersiapkan semuanya?" tanya Ayah.


"Kalau soal biaya, saya sudah menabung untuk itu, Pak. Ini menunggu kesediaan Bapak dan Desi saja." ucap Beni mantap.


"Semuanya terserah Desi," ujar Ayah sambil melirik ke arah Desi.


Sebenarnya Ayah hanya ingin memastikan keputusan yang diambil Desi untuk menikahi Beni adalah keputusan final. Ayah ingin memberi masukan sedikit kepada Desi mengenai pandangannya terhadap Beni.


"Nanti, tunggu kabar dari Desi saja ya, nak Beni." Ucapan Ayah membuat mata Beni berubah, dia yang sangat percaya diri mendapatkan restu dari ayah Desi marus pulang tanpa hasil yang diinginkannya.


***

"Benar kamu mau menikah dengan Beni, Nak?" tanya Ayah yang duduk berhadapan dengannya. Desi diam. Benar, Desi menyukai Beni, tetapi dia belum berani menyatakan diri untuk menjadi istri Beni.


"Sebenarnya Ayah dan Ibu meragukan Beni. Ayah melihat gelagat sombong pada sikapnya. Ayah takut keluarga kita akan dianggap remeh olehnya. Mungkin benar Beni memiliki posisi pekerjaan yang mapan di perusahaannya, tetapi setidaknya cara dia mendatangi calon mertuanya dengan mengajak wali. Itu semua bentuk penghormatan kepada Ayah dan Ibu sebagai orang tuamu." jelas Ayah.


Beni memang datang ke rumah Desi tanpa seorang pun karena dia yakin bahwa pinangannya akan langsung diterima oleh orang tua Desi. Kenyataannya, keinginannya itu harus menunggu kepastian yang belum tahu kapan akan disampaikan oleh Desi.


"Mas Beni itu orangnya baik, Ayah, Ibu. Insya Allah Desi akan bahagia bersama mas Beni," ucap Desi percaya diri.


"Sholatlah, Nak. Mintalah Allah untuk memilih karena pilihan-Nya pasti akan baik untukmu. Menikah itu bukan perkara mudah dan hanya terjadi sekali seumur hidup. Memilih calon pasangan itu ada kriterianya. Pilihlah calon yang agamanya bagus, insya Allah kekurangannya akan tertutupi." nasihat Ayah.


"Iya, Ayah. Desi sudah mengenal keluarga mas Beni. Mas Beni berasal dari keluarga baik. Desi akrab dengan adiknya, Ayah," sangkal Desi.


"Bukan begitu, Nak. Ayah khawatir dia hanya baik di luar saja." Akhirnya Ayah menjelaskan alasan tidak menyukai Beni.


"Meskipun Alif hanya guru SD, Ayah dan Ibu lebih senang dia yang menjadi suamimu kelak." Ibu menambahkan.


"Alif tidak mungkin menikahi Desi, Bu. Desi sudah memutuskannya sejak mas Beni menyatakan keinginannya meminang Desi."


Ibu, Ayah, dan Desi diam. Semua berpikir dengan pendapatnya masing-masing. 


***

Dua hari setelah kedatangan Beni menemui Ayah, Desi menghadap Ayah dan Ibu.

"Bu, hati Desi cenderung kepada mas Beni. Mohon restui kami, Bu," pinta Desi.


Permintaan Desi membuat Ayah dan Ibu kaget, diam sesaat.

"Benar kamu ingin menikah dengan Beni? Benar kamu akan sanggup menjadi istrinya?" selidik Ibu.


"Benar, Bu. Desi akan tanggung semua konsekuensi dari keputusan Desi."


"Kalau begitu, Ayah dan Ibu tidak bisa berkata apa-apa. Suruh Beni ke rumah dan mempersiapkan segalanya." ucap Ayah yang membuat wajah Desi tersenyum.


Semua persiapan yang dilakukan oleh kedua keluarga sepertinya sudah matang, pernikahan akan dilangsungkan dua minggu lagi. Memang terkesan mendadak, namun itu adalah keinginan Desi dan Beni.


***

Pernikahan Desi dan Beni diadakan cukup meriah. Kolega Beni begitu banyak. Undangan yang datang membludak. Resepsi yang dilaksanakan seperti resepsi anak pejabat. Banyak tokoh masyarakat dan pejabat hadir di sana.


Kedua mempelai yang duduk di pelaminan dengan konsep minimalis terlihat tampan dan cantik. Senyum menghiasi wajah mereka yang nampak lelah melayani tetamu. Resepsi nampak meriah. Buket bunga menghiasi gedung aula. Iringan musik terdengar memekakkan telinga, mengalun tiap menit tanpa berhenti.


Pesta resepsi pun berakhir dengan kepulangan tetamu satu per satu dari gedung, meninggalkan mempelai dan panitia yang harus bersih-bersih. Desi dan Beni nampak letih. Seharian duduk dan berdiri membuat mereka menghela napas. Rasa lega membuat mereka tersenyum kecut.


Inilah hari mereka diikat dengan perjanjian sakral. Keduanya sudah memiliki hak dan kewajiban yang harus ditunaikan. Ibu dan Ayah merestui pernikahan mereka meskipun dengan hati yang berat.


***

Baru tiga hari Desi merasakan senangnya menjadi seorang istri. Namun, dia sudah melihat gelagat yang tidak mengenangkan dari Beni.

"Mana sarapannya?" bentak Beni.


"Sebentar lagi masak, Mas. Mas Beni tunggu sebentar ya," pinta Desi.


"Masa' buat sarapan saja tidak bisa. Istri bagaimana kamu ini?" hina Beni.


"Baru hari ini aku tidak menyediakan sarapan, Mas sudah berani bentak aku. Mas tidak bertanya alasanku terlambat menyiapkan sarapan, malah membentakku. Ayahku saja tidak pernah melakukannya padaku," sangkal Desi sambil berurai air mata 


"Makanya, kalau tidak mau dibentak, buat cepat!"

Beni berlalu meninggalkan Desi tanpa meminta maaf dan meredakan tangisnya.


"Ayah, Ibu .... Ternyata apa yang dikatakan Ayah benar. Aku lebih memilih tampan daripada agama." sesal Desi. 


Semua sudah terlanjur, dari awal Desi yang memang salah memilih pasangan. Desi teringat beberapa pesan yang diterimanya sewaktu taklim kampusnya.


“Wanita dinikahi karena 4 hal: hartanya, nasabnya, kecantikannya, dan agamanya. Pilihlah yang memiliki agama, maka kalian akan beruntung.” (H.R. Bukhari)


***

https://melianaaryuni.wordpress.com

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama